Dua Lipa – Di tengah ledakan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin tak terbendung, gelombang protes keras datang dari para seniman, musisi, dan kreator dunia. Nama besar seperti Dua Lipa, bersama lebih dari 200 seniman lainnya, angkat suara dalam sebuah petisi terbuka yang mengecam penggunaan AI dalam penciptaan karya seni tanpa izin, etika, dan rasa hormat. Mereka tidak tinggal diam saat suara mereka di tiru, gaya mereka di curi, dan karya mereka di duplikasi seolah-olah hanya kumpulan data acak.
AI generatif seperti ChatGPT, Midjourney, dan lainnya, kini bisa menciptakan lagu, lukisan, puisi, hingga naskah film dalam hitungan detik. Tapi di balik kecanggihan ini, ada pertanyaan besar yang tak boleh di abaikan: siapa pemilik orisinalitasnya? Apakah kita akan menyerahkan dunia seni pada mesin yang tak memiliki jiwa?
Petisi yang Menggemparkan Dunia Kreatif
Surat terbuka yang di motori oleh Artists Rights Alliance ini menuntut agar perusahaan teknologi besar menghentikan penggunaan karya seni manusia untuk melatih AI tanpa persetujuan eksplisit bonus new member. Nama-nama besar seperti Billie Eilish, Stevie Wonder, Elvis Costello, hingga Jon Batiste ikut menandatangani petisi tersebut. Dalam dokumen itu, mereka menuduh bahwa AI telah menjadi “alat eksploitatif” yang dapat menghancurkan mata pencaharian jutaan pekerja kreatif di seluruh dunia.
Dua Lipa secara khusus menyerukan perlindungan terhadap hak cipta dan integritas artistik. Ia menyebut AI sebagai “ancaman diam-diam” yang diam-diam merusak ekosistem seni, menciptakan karya-karya tiruan yang merendahkan makna orisinalitas.
Kapitalisme Teknologi di Balik AI
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak perusahaan teknologi raksasa menjalankan algoritma AI mereka dengan “memakan” karya seniman tanpa kompensasi atau atribusi. Gambar, lagu, dan teks yang di publikasikan secara daring di ambil, di analisis, dan di ubah menjadi produk baru yang di jual kembali—tanpa sepersen pun keuntungan mengalir ke pembuat aslinya.
Bayangkan lagu dengan suara seperti Dua Lipa, tapi di buat sepenuhnya oleh AI. Tak ada emosi, tak ada pengalaman hidup, hanya tiruan digital. Lalu siapa yang akan membeli karya asli jika yang palsu bisa di dapat dengan mudah dan murah?
Perjuangan Melawan Kehilangan Identitas
Ini bukan sekadar soal uang. Ini tentang jati diri seniman, tentang ekspresi pribadi yang tak bisa di replikasi oleh mesin mana pun. Jika kita terus membiarkan AI mengambil alih tanpa kendali, masa depan seni akan menjadi dingin, tanpa jiwa, dan tanpa cerita manusia.
Gelombang perlawanan ini bukan histeria. Ini peringatan keras: seni adalah cermin jiwa manusia—dan itu tak bisa di otomatisasi. AI mungkin bisa meniru, tapi tidak pernah bisa menggantikan.